You only live once, but if you do it right, once is enough - Mae West

Kamis, 20 Juli 2023

// // Leave a Comment

Dua Tahun

 

Rabu, 19 Juli 2023 menjelang senja. Ditengah aktifitas gabut menghabiskan bensin sepeda motor Honda Beat peninggalanmu, aku menepi di trotoar Jalan Ijen yang sore itu dipenuhi muda mudi bercengkerama di atas bangku taman.

Pemberhentianku bukannya tanpa sebab, namun karena pikiranku terus dipenuhi olehmu. Sudah beberapa hari ini atau bahkan dalam hitungan minggu, hati dan pikiran selalu terusik oleh kenangan dua tahun lalu. Sempat aku berucap lirih setengah memelas dalam doa untuk bisa bertemu denganmu, berharap semua ini hanyalah sebuah Prank. Tentu saja aku nggak berhasil ketemu kamu, malah yang terjadi aku “ketindihen” selama 3 hari berturut-turut.

Dua tahun sejak pertama kali kamu sakit tanggal 12 Juli 2021 sampai kamu benar-benar pergi, udah banyak perkembangan di rumah. Anak – anakmu juga udah semakin besar, semakin pinter, berani dan mandiri. Bahkan pernah beberapa kali aku meninggalkan mereka bertiga di rumah untuk bekerja di kantor. Suatu hal yang mustahil kalo inget dulu kita berdua pernah ninggalin Nabila dan Fatih untuk belanja di Indomaret, dan mereka berdua nangis gak brenti-brenti waktu itu. Kamu inget kan?

Udah dua tahun berjalan, kami pasti pengen tahu tentang anak-anak kan?

Nabila sekarang udah mau umur 10 tahun. Udah banyak proses kedewasaan yang dia alami yaitu diantaranya dia udah gak pernah nangis lagi kalo inget kamu, lalu dia sekarang selalu atur-atur duo adik cowoknya untuk melakukan ini, melakukan itu. Persis kayak kamu dulu yang suka minta aku begini dan begitu. Tapi layaknya anak yang belum dewasa dan juga seorang perempuan, aku yakin Nabila sebenernya berusaha untuk tegar dan menutupi kesedihannya dengan sikap yang akhir-akhir ini kerap dia tunjukan seperti mudah marah ke adik-adiknya dan sering cuek kepada orang di rumah. Pernah suatu ketika dia bertanya kepadaku..”Pa, kenapa aku anak perempuan jadi anak pertama sih?” Pertanyaan yang membuatku kala itu menjadi riweuh mengeluarkan beberapa helai mie dari dalam hidung. Ya, Nabila bertanya ketika aku sedang menikmati segelas Pop Mie rasa baso yang cup nya berwarna hijau dan aku tersedak. Aku hanya bisa menjawab “Itu Allah yang milih, nduk..bukan Papa dan Mama yang milih”.

Fatih si anak tengah juga udah mulai menunjukkan pesonanya. Dua tahun lalu ketika kamu mulai sakit, Fatih juga mulai debutnya bersekolah TK via online waktu itu. Aku yang mendampingi Fatih kala itu kerepotan setengah mati karena dia nggak bisa diem, nggak bisa fokus mendengarkan guru berbicara di layar laptop. Bahkan ketika kutinggal sebentar ke dapur, dia sudah menghilang dari depan laptop dan bermain di luar rumah. Sekarang Fatih baru saja masuk SD, dia bersekolah bareng Nabila. Salah satu yang membanggakan dari Fatih adalah dia tipe anak yang mudah sekali bersosialisasi, mirip denganmu bahkan entah karena bakatnya itu atau bukan, dia terpilih menjadi Ketua Kelas. Aku bangga! Namun menjelang dua tahun ini ingatannya tentangmu justru malah bertambah. Jika sebelumnya dia tidak pernah teringat sama sekali tentangmu, namun beberapa waktu kemarin paling tidak sudah 2 kali ini dia menangis sambil memelukku dan berucap lirih “Pa, Fatih kangen Mama”.

Gaza si kecilnya kita semakin lama semakin menunjukkan kepintarannya dalam mengolah kata menjadi suatu kalimat absurd namun lucu. Dia masih umur 2 tahun tepat ketika kamu pergi, bahkan dia belum sempat kamu sapih kala itu. Sekarang dia umur 4 tahun dan dia udah masuk TK A. Yaah..benar, aku sendiri merasa dia masih terlalu kecil untuk masuk TK meskipun banyak temannya yang berumur 4 tahun. Tapi dicoba saja, siapa tahu Gaza bisa menjadi lebih mandiri dan tidak terlalu manja. Setelah kamu pergi, tentunya perhatian Yangma (Ibumu, in case kamu lupa) dan Uti banyak tercurah ke Gaza. Hal itu membuat Gaza tumbuh menjadi anak yang sedikit lebih manja daripada kakak-kakaknya. Sedangkan manja adalah hal yang dulu selalu kamu berusaha hindari dalam mendidik anak.

Ngomong-ngomong soal anak-anak, betapa anehnya dulu ketika baru punya anak Nabila seorang. Kamu beberapa kali minta aku untuk keluar berdua dengan Nabila dengan alasan agar ikatan batin seorang ayah dan anak menjadi lebih kuat. Namun tentu ide itu aku tolak dengan alasan..”Gimana kalo Nabila rewel? Kalo dia laper gimana? Kalo ini gimana, kalo itu gimana? dst”. Tapi sekarang…aku bawa 3 anak kecil jalan-jalan. Kadang ke Mall, kadang ke kafe, kadang sekedar nongkrong di pinggir jalan Kayutangan. Aku berani, aku bisa. Kamu banggakan sama aku?  

Dua tahun udah berjalan..memasuki bulan Juli dan Agustus kadang masih suka bertanya-tanya apakah ini benar terjadi? Bukan sekedar Prank saja? Prank yang terlalu serius dan terniat kukira jika benar. Tiba-tiba kamu muncul di balik pintu dan berteriak “Surrrrpppriseee” sambil membawa es teler kesukaanmu.

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu akan tetap selalu sama yaitu “La Yukallifullahu Nafsan Illa Wus'aha” yang artinya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Kegelisahan Nabila mengapa menjadi anak pertama, rasa rindu yang memuncak seorang Fatih dan kemanjaan seorang Gaza serta aku yang bisa menemani mereka selama ini ya karena Allah nilai kami sanggup. Cukuplah Allah yang menjadi penolong kami.

***

Cahaya matahari sore itu semakin redup dan mulai digantikan lampu-lampu jalan yang warnanya nampak lebih melankolis dari biasanya.

Dua tahun kami merindu. 









Read More

Minggu, 17 Juli 2022

// // Leave a Comment

PENDAK (bahasa Jawa: setahun)

Masih teringat dengan jelas keriweuhan pagi itu karena bangun kesiangan dan kurang dari setengah jam kemudian akan ada rapat pertemuan wali murid TK tempat anak kami sekolah. Hari itu Sabtu tanggal 10 Juli tahun 2021, hari terakhir aku melihatmu masih dalam keadaan sehat wal afiat. Yang kalo aku tanya Umi kenapa? Kamu masih bisa jawab gak apa-apa kok Bi, paling cuma kecapekan biasa dan berlalu sambil main game di handphone.

Siang harinya ketika kamu mulai merasa gak enak badanpun kamu masih tetep ngotot ikut operasi bagi-bagi sembako dan masker yang seminggu terakhir udah kamu bungkus rapi satu persatu. “Ya wes, ikut tapi minum obat, vitamin dan gak boleh ikut turun dari mobil” ujarku waktu itu. Kamupun mengangguk pelan.

Esok harinya karena kondisimu semakin parah, kamu dan aku waktu itu sepakat buat melakukan swab karena emang kecurigaan udah ke arah tanda-tanda covid. Sepanjang pagi sampai minggu siang aku nyari tempat swab yang nyaman dan kalau bisa dipanggil ke rumah, tapi ternyata ndak ada. Hingga akhirnya ketemu dengan layanan swab drive thru milik salah satu Rumah Sakit Swasta di Malang. Hasil swabnya-pun udah jelas seperti yang udah diduga sebelumnya..aku negatif dan kamu positif.

**

Pendak yang dalam Bahasa Jawa artinya semacam anniversary gitulah. Udah pendak kamu pergi, tapi aku masih penasaran sesakit apa kamu karena yang aku tau, kamu gak pernah lebih dari sekali kalo ngeluh. Misal ditengah hari ketika aku kerja, kamu tiba-tiba bilang di WA “Bi, gigiku sakit” lalu aku balas dengan “Coklat terooss..permen terosss.” dengan disertai emoticon ketawa tentunya. Kamupun balas dengan kalimat manja “Ihh..abi ihh, kan abi yang suka beliin coklatnya”. Lalu sorenya ketika aku udah sampe rumah, kamu udah gak sakit lagi seakan lupa kalo tadi ngeluh sakit. Aku tau kamu gak nyari obat sama aku, kamu cuma butuh aku untuk sekedar just say Hi.

Ketika kamu berbaring lemes di kasur Rumah Sakit, dalam doaku aku selalu berharap supaya sakitmu bisa ditransfer ke aku aja, biar aku aja yang sakit daripada kamu karena jelek-jelek gini aku rajin push-up dan futsal lho, jadi harusnya lebih kuat daripada kamu.

Udah pendak kamu pergi, aku masih aja suka buka history chat kita di WA. Percakapan-percakapan remeh yang biasa dimulai dari pertanyaanmu seperti “Udah makan, Bi?” atau “Nanti mau makan apa Bi? Pertanyaan yang hanya keluar kalo sedang tanggal muda aja sih, kalo udah tanggal tua, pertanyaannya ganti gini “Nanti makan sama telor aja gpp ya Bi?”. Semua pertanyaanmu harus aku jawab satu persatu, gak boleh ada yang terlewat satupun dan tidak boleh menjawab terlalu singkat. Seperti waktu itu contohnya ketika kamu menanyakan apakah nanti malam bisa anter kamu ke swalayan dekat rumah dan hanya aku jawab “oyi”, kamupun bales “oyi tok?” lalu aku jawab “oyi sayaaaangg”, dan kamu jawab “Nah, gitu dong”. Aku juga gak mau kalah, aku jawab “Nah, gitu dong tok?” dan kamu bales “Nah, gitu dong sayaangg..hehehe”. Hal remeh gini yang sangat aku kangenin dari kamu, Mi.

Setelah kepergianmu, aku kadang masih suka chat ke WA mu. Sekedar tanya kabar dan tanya lagi apa? Yang tentunya gak kamu bales lagi dan akhirnya aku berhenti WA kamu lagi karena setelah aku pulang kerja Nabila memandang aku aneh sambil tanya “Papa ngapain WA Mama? Emangnya Mama bisa bales ta?”

Nabila sekarang jadi salah satu teman chatingku, meskipun sering gak dibales karena dia lebih asik main sama temen-temen komplek perumahan. Sedangkan Fatih masih terbatas hanya bisa telpon atau video call. Gaza apalagi.

Udah pendak kamu pergi, aku masih selalu kuatir gimana kamu disana meskipun kamu lebih alim daripada aku. Sholatmu lebih rajin daripada aku. Tapi entahlah aku terlalu kuatir bagaimana kamu menjalani perjalanan di alam Barzakh, apakah bekal amalmu udah cukup kamu bawa semua? Mengingat kamu orang yang pelupa juga kalo pergi, bekal yang udah disiapin sering banget gak kebawa ketika pergi. Tapi kepergianmu kali ini, aku berharap nggak ada lagi bekal yang tertinggal.

Ada seorang teman yang bilang jika kekhawatiranku ke kamu terlalu berlebih. Dia bilang “Kalo kamu percaya Allah SWT itu Ar Rahman dan Al Ghaffar, harusnya kamu ya ikhlas Bro, banyakin doa sama Allah. Ini soal akidah!”. Ucapan temenku itu kerasa pedes dan panas pada awal dengernya tapi semakin kesini, semakin kerasa kalo itu bener banget. Sifat-sifat Allah bukan hanya untuk dihafal tapi diyakini kebenarannya.

Sampai pada satu ketika di jam istirahat kantor, niat badan pengen tidur sebentar tapi susah banget buat merem. Padahal situasi pada saat itu udah mendukung banget buat tidur. Lampu ruangan yang udah mati semua, AC ruangan yang nyesss lalu ngeliat Avid yang udah sukses terlelap di meja sebelah, harusnya dalam itungan detik aku udah bisa pindah ke alam mimpi. Tapi waktu itu aku tiba-tiba buka aplikasi AlQur’an digital di handphone dan nye-croll random sampe akhirnya ketemu Surah ‘Abasa ayat 33 – 37. Di ayat itu bilang kalo di hari kiamat nanti kita bakalan lari dari saudara, dari orang tua, dari istri dan anak-anak kita karena kita akan sibuk dengan urusan kita masing-masing. Seolah-olah Allah mau ngomong ke aku kalo bekal istrimu udah cukup sedangkan kamu belum Hed, makanya kamu ibadah dan beramal yang bener Hed. Toh nanti di akhirat, sebelum kita dimasukkan ke surga atau neraka (Naudzubillah min dzalik) kita ini bakal sendirian..bener-bener sendirian. Cuma ditemenin sama amal.

Momen ini membuat aku sadar kalo catatan amalmu udah ketutup Mi, kecuali dari 3 hal yang udah kamu tanem di dunia ini (sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa-doa dari anak-anakmu). Dan aku harus berhenti mengkhawatirkanmu dan mulai nulis catatan amalku lagi dan ngajari anak-anak gimana caranya nulis di buku catatan amal dengan baik.

Udah pendak kamu pergi. Berhenti mengkhawatirkanmu adalah jalan bagi kami untuk menyayangimu agar kamu berbahagia disana. 

Namun kesedihanku kali ini akan lebih daripada sebelumnya seandainya amalanku belum bisa menyamai amalanmu sehingga di kehidupan mendatang kita bisa ketemu lagi dan ngobrol sepuasnya lagi.

Sekarang aku berusaha untuk terus bisa senyum lagi, Mi..karena kami akan mendatangimu cepat atau lambat.

**

Senin, 09 Agustus 2021 – 07.20 WIB

Daun bertuliskan namamu di Lauhul Mahfudz telah gugur. Innalillahi wa innailaihi raji’un

***

Read More

Senin, 17 Desember 2018

// // 1 comment

MISTERI MOBIL MOGOK, CICAK DAN LA VIE EN ROSE


Hold me close and hold me fast..The magic spell you cast
This is la vie en rose…
When you kiss me heaven sighs and tho I close my eyes
I see la vie en rose…
When you press me to your heart, I’m in a world apart
A World where roses bloom and when you speak, angels sing from above
Everyday words seem to turn into love songs
Give your heart and soul to me
And life will always be…
La vie en rose
Louis Armstrong – La vie en rose


Jreeengg..jreengg..after all this time ya..tiba-tiba pengen nengok nih blog dan ternyata masih ada. Kirain udah banyak sarang laba-labanya atau dihack sama hacker entah siapa. By the way, sekarang ini nih ketika mulai nulis sekarang ini nih, jam udah menunjukkan jam 12 malem. Selain karena gak bisa tidur efek secangkir kopi item ditambah secangkir hot latte sore tadi, pas lagi iseng liat-liat song playlist di HP..ada lagu lama yang udah jarang banget diputer yaitu lagu yang liriknya ada di atas tuh. Gara-gara lagu itu, saya jadi keinget ada satu kejadian unik yang berhubungan dengan judul di atas. Kerasa absurd banget sih kalo liat hubungan antara mobil mogok, cicak dan lagu La Vie en Rose. Jadi pelan-pelan aja bacanya, karna saya juga udah agak lupa-lupa inget sama kejadiannya..hehe..

Jadiii…malam ituuu sekitar pukul 10 malam di suatu waktu di tahun 2016 yang lalu (bacanya coba pake gayanya Feni Rose di acara Silet deh, biar dapet feel-nya :D ), diantara gerimis yang mengundang sehabis hujan deres sebelumnya (heran, gerimis kok bisa mengundang ya?), suara kodok yang bersahutan kepengen kawin, kilatan cahaya petir di kejauhan dan hawa dingin yang menusuk tulang meskipun udah pake jaket rangkap 3. Karna alasan profesionalitas pekerjaan, saya dan rekan saya waktu itu yang bernama Mas Didit, menekatkan diri berangkat kerja. Tempat kerja kami yang nun jauh dari Malang yaitu di Madiun sebenernya semakin membuat kami males untuk berangkat, namun apapun yang terjadi kami harus berangkat malam itu juga demi nasib rakyat sebangsa dan setanah air! (halah…). Tapi beneran ya, malem itu kalo kami gak harus berangkat kerja, emang paling nyaman kalo kami meringkuk di dalam selimut. Apalagi tersiar kabar kalo sekarang ini lagi banyak begal..beuuh ngeriiii pemirsaaaa…masih agak mending kalo kita dirampok hartanya, kalo sampe dirampok harga diri kita gimana? Wah bisa bingung kan..mau jualan apa lagi kalo harga diri kita diambil orang?!

Perjalanan dari Malang ke Madiun kalo normal biasanya ditempuh dengan waktu 5 jam-an, tapi karena kami berangkat malem dimana jalanan udah sepi, waktu perjalanan bisa diringkas jadi 3,5 jam-an. Seperti minggu malam – minggu malam sebelumnya, saya berdua berangkat ke Madiun naik mobil. Biasanya yang nyetir gantian, kalo berangkat dari Malang biasanya Mas Didit dulu suka yang nyetir duluan. Jadilah malam itu, berangkat dari Kantor Pusat, Mas Didit nyetir duluan berangkat ke Madiun.

Seperti biasa, kalo cuma berdua aja dalam perjalanan, biasanya kami sukanya ya ngobrol. Mulai ngobrolin lagu-lagu, sampe ngobrolin Jessica Kumala Wongso. Kami bukan ngebahas kasus pembunuhannya sih tapi penasaran gimana rasanya kopi dicampur sianida..hehe..

Sepanjang jalan selain hawa yang dingin tadi, awalnya gak ada yang beda, gak ada tanda-tanda aneh yang menyiratkan sesuatu. Semua lancar-lancar aja, normal-normal aja. Mas Didit juga normal-normal aja, masih dengan sebatang rokok yang kadang dihisap perlahan penuh hayat di mulutnya dan saya juga masih keren-keren aja, masih cool (kedinginan maksudnya) seperti biasa. Saat itu ketika perjalanan kami baru sampai di sekitar daerah Kandangan (daerah perbatasan Kab. Malang dan Kab. Kediri), di antara pepohonan rimbun yang ada di sekitar kami dan diantara gelapnya malam saat itu, tiba-tiba terjadi keanehan, terdengar suara-suara mistis yang cukup membuat kami berdua ketakutan lalu kemudian setelah munculnya suara mistis tersebut diikuti dengan tersendatnya laju kendaraan kami, terus-menerus sehingga terjadi guncangan yang cukup keras sehingga membuat mesin mobil kami berhenti.

Hening.

“Lho-lho, kenapa ini mas??” tanya saya. “Waddduuhh..ini pasti olinya bocor lagi Hed. Kemaren udah kejadian juga pas di Madiun dan udah dicek sama Doni (Driver di Madiun) kalo ternyata ada bagian yang bocor”. Ternyata mobil kami mogok dikarenakan ada kebocoran di salah satu bagian mesin yg nyebabkan olinya habis. Jadi, suara mistis tadi itu bersumber dari mesin mobil..(Oaalaaahhh...kirain suara gaib)

“Waaa..nyari oli dimana jam segini? ditengah-tengah hutan gini pula Hed?” keluh Mas Didit.
“Hmm..kayaknya di depan sana ada pom bengsin deh mas” kata saya sambil mulut saya monyong nunjuk ke arah depan. Emang sih, gak jauh dari tempat mobil kami mogok ada pom bengsin dan beberapa warung nasi. Cuma masalahnya, tengah malem gini apa iya masih buka??
“Ya udah Hed..gini! mobil ini supaya bisa jalan lagi harus diisi lagi sama oli, aku tak ke pom bengsin jalan kaki buat beli oli, siapa tau masih buka. Kamu di sini aja, nungguin mobil sama barang-barang yo” kata Mas Didit.
“Ha??nunggu di sini mas sendirian?” kata saya yang nyali-nya mulai agak ciut.
“Iya Hed..udah gak apa-apa, gak usah takut” Mas Didit berusaha menenangkan. “Kalo takut, ntar diketawain setan lhooo...hahahaha...”

HHHUUUAAAA !!!!
***

Dan akhirnya kemudian beneran saya ditinggal di mobil sendirian. Dari kejauhan nampak mas Didit yang berjalan kaki menuju pom bengsin dengan langkah tegap seperti sedang gerak jalan..kiri..kiri..kiri..kiri !!! hihihi...

Gak lama kemudian, mungkin sekitar 15 menit-an lah, ketika saya lagi sok sibuk dan sok ngerti sama mesin mobil..tiba-tiba dari arah depan mobil terdengar suara motor yang mendekat, lalu saya noleh dong dan ternyata emang ada sebuah sepeda motor datang dengan lampu yang sangat menyilaukan. Saking silaunya pas saya ngeliat ke arah motor tersebut, saya sampek harus make kacamata item..hehehe..kemudian dari atas sepeda motor tersebut tampak bayangan siluet dua orang yang turun dari motornya. Saya yang dari tadi agak-agak paranoid sama yang namanya begal, jadi deg-degan. Takut gak bisa jawab kalo ditanyain mobilnya kenapa, karna saya gak ngerti apa-apa soal mesin mobil. 

Kemudian orang yang sebelumnya duduk di bagian belakang motor dateng nyampirin saya sambil bilang “Hed, ternyata pom bengsinnya tutup”. Oalaahh..ternyata mas Didit yang dateng. Tapi lho kok naik motor dan bawa temen?? “ Ini Hed, kenalin Pak Slamet (sebenernya saya lupa sih nama Bapak ini, tapi anggep aja namanya Pak Slamet ya)
Rumah beliau di samping pom bengsin, tadi setelah tau kalo aku lagi nyari oli, beliau nawarin diri ngebantu nyariin toko/ bengkel yang masih buka jual oli” Mas Didit ngenalin Bapak itu ke saya. “Oh ya Pak, kenalin saya Michael Buble tapi biasa dipanggil Heddy..hehehehe”. Pak Slamet ternyata gak nanggepin guyonan saya, beliau dengan tatapan tajamnya memandang dingin ke arah saya sambil berkata dengan penuh wibawa “Teng mriko wonten tiyang sing sadean oli, tapi lumayan tebih. Sampeyan ngentosi mriki nggih?” udah gitu aja, Pak Slamet yang kira-kira berusia 50 tahunan, berjaket tebal dan lebar bicara dengan cukup efisien.
“Oke Hed..kamu tunggu sini lagi ya sendirian..aku tak nyari oli lagi. Kalo diketawain setan, gak usah takut, gelitikin aja kakinya biar keselek..hahaha...”

HHHUUAAAAA !!!!

Mau gak mau mereka berdua udah ninggalin saya sendirian lagi, feeling saya nih bakalan lama banget nunggunya karena saya tau daerah yang dimaksud Pak Slamet di mana..Ya udah deh, akhirnya saya nunggu di dalem mobil sambal mainan HP. Mulai dari buka facebook, instagram, path, twitter sampe balik lagi ke facebook masih aja belum ada tanda-tanda para pencari oli dateng. Dan ketika lagu di playlist HP muter lagu miliknya Louis Armstrong yang judulnya La Vie en Rose, tiba-tiba pepohonan yang ada di sebelah mobil bergoyang sendiri. Sepertinya sih pohon mangga karena ketika pohon tersebut bergoyang, bunga-bunga bakal calon buah mangga pada berjatuhan. Sontak saya jadi nderedeg, kok bisa pohon goyang sendiri. Takutnya ada orang ato yang mirip orang lagi loncat-loncatan di atas pohon..hiiiii….Tapi ternyata ketakutan saya jadi pudar setelah tau ternyata emang di luar itu anginnya gede bangett.

Akhirnya karna saya bosen di dalam mobil, saya memutuskan untuk keluar. Suasana di luar sebenernya lebih serem dan dingin daripada di dalem mobil sih, tapi mau gimana lagi udah mati gaya juga. Di luar, saya memberanikan diri duduk di sebuah kursi yang berada di halaman rumah warga. Agak serem juga sih, malem-malem duduk sendirian ditengah malam. Selang beberapa menit kemudian, ada 5 orang dengan 3 sepeda motornya yang memang kebetulan lewat jalan raya itu tiba-tiba berhenti untuk melihat mobil mogok kami. Entah apa yang mereka omongin yang pasti mereka tunjuk-tunjuk ke dalam mobil, karena jarak saya dan mereka yang agak jauh. Hanya saya punya feeling kurang bagus akan hal ini. Tapi untungnya, mereka gak ngapa-ngapain dan mereka segera pergi lagi setelah mendengar suara pohon mangga di sebelah mobil seolah bergerak-gerak sendiri. Pfffiuuhhh..Amaannn.

Setelah menunggu kurang lebih 2 abad ya kira-kira..eh gak dink kira-kira sejam akhirnya mas Didit dan Pak Slamet dateng dan kedatangan mereka meskipun lama tapi membawa secercah harapan bahwa esok hari kan lebih cerah (iki opo to yo?!). Mas Didit dateng dengan membawa tentengan tas kresek berisi 2 liter oli. Entah mereka dapet darimana malem-malem begini. Kemudian kami mulai ngisi oli yang kami perkirakan bocor tadi. Kami isi dengan 1 liter terlebih dahulu, 1 liter lainnya buat cadangan pas di jalan nanti.

Setelah beberapa saat isi oli, kami mulai nyoba nyalain mesin mobil. Saya, Mas Didit, Pak Slamet harap-harap cemas, muka kami diselimuti aura ketegangan hingga akhirnya ketika Mas Didit mencoba memutar kunci mobil dan sedikit menambahkan injakan gas…daaann…Bbbrrrrmmmm…!!! Mesin mobil menyala dengan sempurna. Alhamdulilllah!!! Seketika ketegangan yang ada di wajah kami berubah menjadi kelegaan.

Dengan suksesnya mesin mobil kami hidup kembali, maka Pak Slamet-pun undur diri. Kami saling bersalaman sangat erat dan mengucapkan rasa terimakasih kami, entah bagaimana nasib teman-teman kami di Madiun kalo kami datang telat…yeeeeeyyyy.. Sebelum bener-bener undur diri, sebagaimana lazimnya orang Jawa, Beliau dengan sopan menawarkan kami untuk mampir sebentar ke “Gubug”nya. “Monggo Mas-Mas, mampir rumiyin. Ngopi-ngopi dulu sebelum lanjut perjalanan”. Lalu karena alasan tugas negara itu tadi, kamipun dengan sopan pula menolak ajakan tersebut. “Ngapunten Bapak..kami langsung jalan ke Madiun saja, biar bisa langsung sekalian istirahat dulu sebelum kerja” Jawab Mas Didit. Dan kemudian Pak Slamet menaiki motornya dan tersenyum dingin ke arah kami, lalu pulang menuju rumahnya yang ternyata gak jauh dari lokasi mobil mogok, hanya sekitar 100 meter-an.

Oke Mas..beres sudah, tak setirin kah? Saya nawarin diri nyetir. “Gak usah Hed, aku aja gak apa-apa. Nanti kamu gantiin pas di daerah Nganjuk atau Kertosono aja ya”. Oh oke Mas, jawab Saya. Dan kami melanjutkan perjalanan, hingga beberapa saat kami jalan…Tiba-Tiba! Mobilnya kembali goyang-goyang daaannn mesin mobil mati lagi. Kami coba starter terus menerus masih tetep gak bisa. “Waahhh wes paraaah iki Hed mobil e. Terpaksa harus dibawa ke bengkel iki” kata Mas Didit. Iya Mas, masih tetep bocor..harus ditambal dulu bocornya. Dan lucunya, ternyata ketika mobil ini mogok untuk kedua kalinya..Mogoknya pas di depan rumah Pak Slamet! “ Lho, Hed..inikan rumahnya Pak Slamet, Hed” kata Mas Didit. Bener aja, habis Mas Didit ngomong begitu, Pak Slamet keluar dari rumahnya. “Mogok lagi Mas?” tanyanya. Iya Pak! “Ya, udah sini Mas, istirahat dulu sebentar di sini, mobilnya sini saya bantu minggirkan” kata Pak Slamet sambil bantu dorong mobil agak kepinggir.

Saat itu, saya dan Mas Didit udah pasrah sama keadaan mobil dan pasrah dengan tugas negara di Madiun. “Kayaknya emang kita gak boleh berangkat ke Madiun malam ini deh Mas” kata Saya. “Iya Hed, terus enak e gimana kita sekarang?” Jadi pada saat itu kami memang harus beristirahat tapi bingung harus istirahat dimana, mau kembali ke Malang dengan minta jemput orang rumah kok ya kejauhan, nekat mau lari ke Malang kok yo eman gak ada medali finishernya ..hihi, mau tidur dipinggir jalan juga dikira orang gila. Dilema. Lalu dari dalam rumah, Pak Slamet kali ini bersama istrinya mempersilahkan kami duduk dan menyuguhkan secangkir kopi hitam. “Mas, monggo diunjuk. Seadanya nggih..” Pak Slamet mempersilakan. “Wah Pak, njenengan kok repot-repot to Pak?” kata Saya sambil langsung nyeruput kopinya dan Mas Didit melotot : D

“Pripun selanjutnya Mas? Istirahat saja dulu semalam di rumah kami, Mas. Pripun? Pak Slamet menawarkan bantuan (lagi). Kami yang ngerasa udah sungkan banget udah dibantuin sejak nyari oli trus sekarang dikasi kopi dan ada pisang gorengnya juga, terang aja nolak dengan halus tawaran tersebut. Dan kemudian saya inget kalo gak jauh dari rumah Pak Slamet, sekitar 200 meteran ada Hotel yang namanya Hotel Kediri 2. Jadi kemudian kami setelah menghabiskan kopi, kami mohon diri ke Pak Slamet untuk menuju hotel tersebut. Dan lagi-lagi Pak Slamet menawarkan bantuan lagi untuk mengantar kami menuju hotel tersebut, dan lagi-lagi pula karena sungkan, kamipun tolak kembali bantuan tersebut.

Akhirnya saya dan Mas Didit dalam suatu malam yang mencekam, berdua jalan kaki menuju ke sebuah hotel sambil mengutuk atas kesialan yang telah terjadi. “Hahaha..lha yoo kok isoook yo Hed, awak dewe ngene iki” Mas Didit membuka obrolan sambil menyalakan sebatang rokoknya. Iyo Mas, ngimpi opo yo maeng bengi? Timpal saya. “Awakmu yakin ta Hed onok Hotel di deket sini?”. Yakin Mas, kan tiap minggu lewat sini, yo apal ta Mas. Dan akhirnya kami sampe di depan hotel tersebut. Penampakan hotel tersebut sepi banget, jangan dibayangin kayak hotel-hotel pada umumnya dan pagar pintu gerbangnya digembok dari dalem. Ya memang sih, saat itu sekitar jam 1 malem tapi masa ada hotel yang gak buka 24 jam? Dan ternyata ya emang beneran ada..hehe..

“Kok sepi Hed?”tanya Mas Didit. Ya gak tau juga Mas. Kita ketok aja yuk pagernya Mas! Dan akhirnya kayak anak-anak jaman dulu yang main ke rumah temennya, kami manggil satpam atau pegawainya hotel, minta dibukain pintu. “Assalamualaikum!! Paaaakk…Paakk..Halooo..halooo..boleh masuk gak? Kami orang baik-baik lho Paaakkk..kaki kami juga napak di tanah kok Paakkk” gitu terus diulang-ulang sampe sekitar 10 menitan. Akhirnya si penjaga hotel keluar dengan muka ngantuknya dan sebuah sarung yang masih melingkar di badannya. “Ada apa Mas?”tanyanya. Mau nginep Mas, masih ada kamar kosong gak? Tanya kami. Dan kami yakin seyakinnya bahwa masih ada kamar kosong, karna hotelnya emang keliatan sepi banget, di halaman parkir juga gak ada mobil tamu, jadi asumsi kami pasti hotelnya kosong. Dan ternyataaa..tau jawaban si Mas penjaga hotel? “Gak ada mas..penuh semua!” udah gitu aja gak pake basa-basi lainnya, dia langsung balik badan dan masuk ke hotel lagi, tinggal kami berdua nih yang bengong kebingungan. “Iki hotel opo to Hed? Kok gak seneng onok Tamu?” Mas Didit udah mulai emosi. “Ya ini Mas, hotel Kediri 2..hehe” Ditengah rasa kecewa, marah, sebel dan juga bingung yang jadi satu tiba-tiba datang seseorang yang gak asing bagi kami yaitu…..Jreeeenggg…jreeengg…Pak Slamet!

“Mas…” Sapa Pak Slamet dengan senyumnya. “ Lho Pak Slamet?! Sejak kapan ada di sini Pak?”. Pak Slamet gak njawab malah bilang “ Hotelnya penuh kan, tidur di rumah saya saja bagaimana? Daripada mas-mas ini bingung lho”. Ditengah kegalauan dan kegundahan, kali ini kamipun mengiyakan tawaran Pak Slamet untuk tidur di rumahnya. Tapi yang kami heran, kenapa setiap kami ada masalah selalu muncul Pak Slamet ya? Ah ya udahlah, gak terlalu kami pikirin karna malem udah semakin gelap dan dingin. Yang kami pikirin gimana caranya supaya kami bisa segera istirahat supaya besok pagi bisa cari orang buat benerin mobil.

Pak Slamet waktu itu naik sepeda motor Honda Vario, dengan sigap membantu membawakan tas-tas kami dan membonceng kami untuk kembali ke rumahnya. “ Mari Mas, tunggu disini sebentar, biar istri saya siapkan kamar tamunya” Pak Slamet mempersilahkan ketika kami sampai rumahnya lagi. “Rumah kami gak seberapa besar Mas, tapi  emang ada beberapa kamar tamu dan kami memang menunggu ada tamu seperti Mas-Mas ini” terang Pak Slamet sambil kembali tersenyum penuh arti.

Setelah nunggu beberapa menit, kami dipersilahkan masuk menuju kamar. Kesan pertama yang kami tangkap dari rumah Pak Slamet adalah rumahnya “menipu” karna dari luar jalan raya gak keliatan gede, tapi pas masuk keliatan gede bangeeettt.

Kami ditempatkan dalam satu kamar yang berada di semacam basement, karena kami harus menuruni beberapa anak tangga dan kamar kami berada di pojokan bersebelahan dengan toilet dan bersebrangan dengan sebuah gudang. Ternyata basement tempat kamar kami tampak semacam seperti sebuah balkon besar yang menghadap ke sebuah sungai kecil. Ketika saya memberanikan diri melihat ke arah sungai tersebut tampak beberapa pohon – pohon Kamboja berwarna putih tumbuh, seketika leher saya bergidik. Hiiiii….Pohon Kamboja kan identik dengan pantai..eh..salah, kuburan!  

Ketika masuk ke dalam kamar, keadaan dalam kamarpun gak kalah bikin bergidiknya. Kamar tersebut jauh banget dari namanya rapi, bener-bener acak-acakan. Dan keliatan banyak debu. Kami heran, istri Pak Slamet tadi nyiapin kamar yang ini atau bukan sih? Di dalam kamar tersebut terdapat dua tempat tidur ukuran kecil yang cukup untuk satu orang aja, jadi pas sih buat saya dan Mas Didit dan di dalam kamar tersebut banyak banget semacam karya seni seperti patung-patung dari kayu. Yang lebih bikin ngeri lagi ternyata di sudut kamar ada semacam tempat sembahyangnya orang Hindu, kayak yang sering kita liat di Bali. Dan ditempat sembahyang tersebut ada tempat dupa, tempat menyan dan beberapa patung cicak, entah itu cicak atau tokek atau kadal, yang pasti bentuknya kayak gitu. Daaaann setelah melihat patung tersebut, kami baru sadar kalo sejak awal kami turun dari ruang tamu menuju basement, di dinding basement tersebut terdapat banyak banget cicak! Mungkin ada 100an cicak. Kami belum pernah liat rumah seseorang yang ada cicaknya sebanyak itu. Kami ngecek toiletnya pun ternyata banyak cicak, bahkan ada satu tokek nempel dipojokan eternit-nya..Hiiiiii…

Malam itu, kami gak bisa tidur. Kami yakin bukan karena kopi yang kami minum. Bukan juga karena bingung dengan mobil. Tapi kami takut kami berubah menjadi siluman cicak ketika keluar dari rumah ini.

NB :
Kejadian real. Lokasi ada di daerah Kandangan deket SPBU.
Tempat Mogok (sumber : Google Maps)

Rumahnya Pak Penolong (sumber : Google Maps)


Read More

Kamis, 15 Maret 2018

// // Leave a Comment

Mandi Terakhir (Chici Sukardjo)


Sudah dua pekan ini pekerjaan bertumpuk-tumpuk. Para klien dan bosku sepertinya tidak bosan-bosan memberi segudang pekerjaan. Yah..risiko profesi. Bukankah itu reward yang aku terima dari hasil kerja kerasku selama ini? Walaupun aku harus merelakan buah hatiku melewati waktu-waktu penting bersama baby-sitternya.
“Tania, jangan lupa briefing dengan Mobil Oil jam tujuh sekalian breakfast besok di Hilton. Jam sepuluh presentasi rencana launching produk baru Mustika Ratu. Lunch time bersama Mr. Reeves untuk program sosial anak asuh. Jam tiga lihat lokasi syuting minuman sehat Extra Joss dan…, eh, nanti malam temenin saya nonton konsernya The Corrs ya…”
Aduh…ini bos atau sekretarisku sih? Enak saja bikinin jadwal, padahal agendaku saja sudah penuh terisi. Pusssiiiing…!
“Mama, mandiin Dito dong….” Tiba-tiba saja putraku yang baru berusia tiga setengah tahun sudah berdiri di ambang pintu kamarku.
“Aduh sayang, besok saja ya…. Mama buru-buru nih,“ elakku. Tapi kulihat dia tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
“Ok deh, nanti sore Mama pulang cepat, kita mandi ya sayang,“ bujukku.
“Bener?” tanyanya dengan mata bulat hitamnya. Alhamdulillah, walau usianya masih muda, Dito termasuk anak yang penuh pengertian. Mau memahami kesibukan orang tuanya. Aku setuju dengan John Gray yang mengatakan, “Membesarkan anak secara positif bukanlah berusaha menciptakan anak-anak baik, melainkan berusaha menciptakan anak-anak yang mengerti perasaan orang lain.”
“Benar. Oh ya, Mama juga akan belikan kolam yang bagus,” rayuku lagi.
“Ah, Mama lupa ya…? Minggu lalu kan Mama sudah beliin Dito. Nanti uang Mama habis, lho! Lagian masih di kardus tuh, nggak boleh dibuka kalau mandinya nggak sama Mama, “ Aku tertegun. Benarkah aku sudah membelikannya?
Ternyata mandi bersama itu terus saja tertunda, sampai akhirnya siang itu, telepon genggamku berkedip-kedip ditengah rapat dan memberi sinyal kalau ada telepon masuk. Di layar ponsel tertera nama Ayang Gue. My Husband. What’s wrong? Tiba-tiba saja perasaanku sebagai ibu jadi tak karuan.
“Ada apa, Pa?” tanyaku perlahan ditengah rapat.
“Mama harus segera pulang, Dito sakit,” suara suamiku singkat, cepat dan tergesa-gesa. Tidak biasanya, sinyal langsung diputus. Dan, setengah linglung kutinggalkan rapat dan kusuruh Pak Kisman ngebut pulang ke rumah.
Dari kejauhan kulihat rumahku penuh dengan kerumunan orang. Ada apa? Jantungku berdegup lebih kencang lagi. Lebih tidak beraturan. Aku terkejut melihat baby-sitter anakku menangis memeluk kakiku, memohon ampun.
“Ibu, maafkan saya tidak bisa menjaga Dik Dito. Sudah dua minggu ini Dik Dito pingin dimandiin Ibu, tapi Ibu sibuk terus. Tadi pagi, badan Dik Dito panas dan terus-menerus mencari Ibu, akhirnya ….”Baby-sitter anakku tak mampu meneruskan ceritanya ketika suamiku datang dengan mata merah dan roman wajah tidak karuan.
Sewaktu berangkat ke kantor pagi tadi memang Dito sumeng. Badannya agak panas. Tapi kupikir cuma karena dia kebanyakan minum ice cream coklat kegemarannya. Lebih-lebih seharian kemarin, dia asyik bermain dengan sepeda barunya. Jadi, ya wajar karena kelelahan badannya sakit demam.
“Ma, Dito sudah tidak demam lagi. Dito sudah sehat, Ma,” suamiku mencoba menenangkanku. Aku tidak terima. Kalau Dito sehat, mengapa para tetangga berkumpul? Mengapa baby-sitterku histeris begitu? Aku berlari menghambur ke kamar putraku sambil berseru memanggil namanya.
“Ditooo, ini Mama sayang. Mama pulang, Nak, Jangan pergi sayang. Ayo kita buka kolam renang birunya, kita isi air sampai penuh, kita main kapal-kapalan. Mama mau mandiin Dito. Dito jangan pergi, Mama sudah beliin Dito handuk Teletubbies seperti pesananmu. Nih lihat, si Po. Dito bangun sayang, ini Mama. Maafkan Mama sayang…..”
Aku terus berusaha membangunkan Dito. Mengguncang-guncang tubuhnya. Memeluknya. Mencoba memberikan kehangatan untuk tubuhnya yang semakin dingin.
“Dito… Dito… Dito… “ aku terus meratap penuh sesal.
“Ayo Ma, kita mandikan Dito bersama,” ajak suamiku perlahan mengambil Dito yang sudah terbujur kaku di pelukanku.
***
Tulisan di atas, bukan karya saya.. saya hanya menulis ulang sebuah tulisan yang meskipun saya baca berulang-ulang tetep bikin paling gak hati gerimis. Sebuah tulisan dari Chichi Sukardjo dalam bukunya “ Bolehkah aku memanggilmu , Ayah? “. Saya rewrite tulisan ini sebagai pengingat ke diri saya pribadi, bahwa apapun yang saya lakukan, bahwa keluarga khususnya anak adalah penting untuk didahulukan, penting untuk diberi perhatian yang lebih. Banyak dari kita mengejar mimpi, karir, dsb tapi melupakan untuk siapa kita bekerja keras.

Read More